Biar
sribu tahun memutih rambutku…
Hatiku
tetap selembut salju….
Pembaca mungkin masih ingat
penggalan lirik lagu diatas. Ya, lagu tersebut pernah popular di era 80-an,
dilantunkan oleh penyanyi idola pada saat itu, Jamal Mirdad. Rangkaian kata
indah yang sempat membuat tiap pasangan muda mudi yang sedang dilanda asmara
(mungkin termasuk anda juga) mengaminkan perasaan itu. Lagu ini mendeskripsikan
kesetiaan seorang kekasih dalam menunggu pujaan hatinya sampai kapanpun jua,
tak tergoyahkan oleh waktu, selalu menjaga hatinya senantiasa putih, seputih
salju….
Dalam tulisan ini, saya tidak akan
membahas lebih dalam tentang lagu yang dimaksud. Yang hendak saya coba adalah
mengimplementasikan judul lagu tersebut
pada hati nurani kita sebagai seorang guru dalam menjalankan kewajiban mendidik
siswa di sekolah. Hampir semua pendidik akan mengalami satu kondisi dimana kita
dihadapkan pada kemajemukan karakteristik anak yang kemudian memberikan influence tersendiri kepada sikap kita
dalam menghadapinya. Mungkin tidaklah akan menjadi masalah apabila kita
menghadapi anak-anak yang “manis”, penurut, perseptif (mudah mengerti), dan
rajin. Dengan kata lain, kedisiplinannya tidak diragukan lagi. Sudahlah pasti
kitapun akan memperlakukannya dengan baik, senyumpun sering dikembangkan pada
mereka, apalagi jika perilaku tersebut dibarengi dengan prestasi yang
membanggakan baik akademik maupun non akademik. Sebaliknya, sikap kita akan
berbeda terhadap anak yang “nakal”, malas, apalagi yang resistan (melawan). Seringkali kita dibuat bingung dan kesal oleh
kelompok yang kedua ini. Intervensi
emosi dalam diri kitapun kadangkala tanpa disadari muncul menjadi kemarahan
mendadak kepada mereka. Fatalnya, apabila situasi ini dibiarkan berlarut-larut,
maka bukan tidak mungkin perasaan benci, antipati, dan tidak mau peduli (sabodo
teuing) akan mengikuti sikap “buruk” kita kepada mereka. Bahkan yang lebih
membahayakan lagi apabila sampai terjadi perselisihan antara guru dan murid,
yang kadangkala berujung pada tindak kekerasan seorang guru kepada muridnya,
ataupun sebaliknya. Seperti yang akhir-akhir ini menjadi viral di berbagai
media, terutama media sosial.
Apabila kita renungkan kembali,
kondisi seperti ini sebenarnya telah menjadi kodrat dari Yang Maha Kuasa. Sama
halnya dengan berbagai macam kontradiksi yang terjadi dalam kehidupan, semenjak
kehidupan ini diawali. Ada malam, ada siang. Ada gelap, ada terang. Ada
kebaikan, ada juga keburukan, dan seterusnya. Semua itu telah diciptakan Tuhan
dengan sengaja, dan pasti ada berbagai alasannya yang harus kita yakini akan
memberikan kebaikan dalam kehidupan kita, baik di dunia maupun di akherat
nanti. Perbedaan sikap anak didik kita sudah sepatutnya kita syukuri sebagai
anugerah Tuhan. Kita anggap saja sebagai pelangi yang kumpulan warnanya dapat
memberikan keindahan tersendiri dalam tugas kita sehari-hari. Disinilah peran
kita sebagai guru diuji, mampukah kita menghadapi anak yang “berwarna” itu
dengan HATI SELEMBUT SALJU…
Ada sebuah pengalaman yang menarik
dan lucu yang pernah saya alami, yang mungkin dapat dijadikan contoh sikap guru
dalam menghadapi siswa yang bermasalah. Pada waktu itu, kami guru-guru dibuat
pusing tujuh keliling oleh seorang siswa kelas 9 yang sering melawan, bertindak
seenaknya, dari pakaian seragam yang tidak pernah lengkap, tugas yang sering
diabaikan, hingga tingkah lakunya di dalam kelas disaat pelajaran berlangsung,
yang sering mengganggu teman-temannya. Apabila dinasehati hanya menerima dalam
ucapan saja dengan menjawab, “Ya Bu”, atau “Ya Pak”, tanpa disertai dengan
perubahan tingkah laku yang diharapkan. Hingga akhirnya terbersit keinginan
saya untuk membuatnya jera tetapi tidak dengan memberikan hukuman yang ekstrim,
melainkan hukuman yang menyertakan hati nurani (mantaaap..) Kebetulan saya
mengajar Bahasa Inggris di kelasnya. Dengan materi Imperative Sentences,
saya mencoba membuat beberapa kalimat perintah dalam sepotong kertas kecil,
yang kemudian digulung seperti dalam arisan. Saya menyuruh setiap anak
mengambil satu gulungan kertas tersebut lalu membacakannya dengan keras di
depan kelas, dan melakukan apa yang tertulis dalam kertas tersebut. Kejadian
unik dan mungkin saya rasa mengharukan akhirnya terjadi ketika sang siswa
bermasalah membacakan kalimat suruhan yang ia buka. Kalimat itu berbunyi: Say
to your teacher, “I love you, Mom!”. Untuk sesaat sang anak tertegun,
dan membacanya dengan sangat pelan. Mungkin dia malu…Saya lalu memintanya
mengulangi membaca kalimat itu sekali lagi dengan suara yang lebih keras.
Dengan lantang ia membacanya kembali, “I love you, Mom!”….Subhanalloh, betapa
Tuhan telah merencanakan kejadian yang luar biasa dan tak kan pernah terlupakan
ini, untuk saya, dan semoga untuk dirinya juga. Anak-anak yang lainpun ramai
bersorak, “Puas siah…matak ge tong bangor!” Saya hanya bisa tersenyum melihat
tingkah mereka, serta tak henti-hentinya bersyukur atas peristiwa itu. Saya
coba bertanya lagi padanya, “Do you really love me?” Dengan malu-malu ia
menjawab, “Yes, Mom.” Alhamdulillah, setelah kejadian itu ia memperlihatkan
perubahan pada tingkah lakunya walaupun tidak 100% seperti yang kami inginkan.
Esensi dari kisah tadi kurang lebih
adalah bahwasanya kita bisa membuat seorang siswa berubah dari yang tidak baik
menjadi baik atau lebih baik tanpa memberikan hukuman yang berlebihan hingga
memberikan traumatis tersendiri pada anak. Setidaknya dalam setiap memberikan
“pelajaran” hendaknya selalu menggunakan naluri orang tua yang baik kepada
anaknya, yaitu selalu memperlakukannya dengan hati yang bersih dan sabar, walau
bagaimanapun nakalnya anak-anak kita. Karena pada dasarnya, sikap anak akan
bergantung pada sikap kita terhadap mereka. Apabila kita bersikap baik maka
merekapun akan baik kepada kita. Bila ingin dihormati dan dihargai anak, maka
hormati dan hargailah ia sebagai individu yang berbeda dari teman-temannya.
Tetaplah menghadapinya dengan hati gembira, selalu menjaga hati kita agar
senantiasa lembut, selembut salju….Insya Alloh anak didik kita akan menjadi
generasi yang membanggakan..Wallahu a’lam…