Kamis, 29 Maret 2018

HATI SELEMBUT SALJU


Biar sribu tahun memutih rambutku…
Hatiku tetap selembut salju….
            Pembaca mungkin masih ingat penggalan lirik lagu diatas. Ya, lagu tersebut pernah popular di era 80-an, dilantunkan oleh penyanyi idola pada saat itu, Jamal Mirdad. Rangkaian kata indah yang sempat membuat tiap pasangan muda mudi yang sedang dilanda asmara (mungkin termasuk anda juga) mengaminkan perasaan itu. Lagu ini mendeskripsikan kesetiaan seorang kekasih dalam menunggu pujaan hatinya sampai kapanpun jua, tak tergoyahkan oleh waktu, selalu menjaga hatinya senantiasa putih, seputih salju….
            Dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas lebih dalam tentang lagu yang dimaksud. Yang hendak saya coba adalah mengimplementasikan  judul lagu tersebut pada hati nurani kita sebagai seorang guru dalam menjalankan kewajiban mendidik siswa di sekolah. Hampir semua pendidik akan mengalami satu kondisi dimana kita dihadapkan pada kemajemukan karakteristik anak yang kemudian memberikan influence tersendiri kepada sikap kita dalam menghadapinya. Mungkin tidaklah akan menjadi masalah apabila kita menghadapi anak-anak yang “manis”, penurut, perseptif (mudah mengerti), dan rajin. Dengan kata lain, kedisiplinannya tidak diragukan lagi. Sudahlah pasti kitapun akan memperlakukannya dengan baik, senyumpun sering dikembangkan pada mereka, apalagi jika perilaku tersebut dibarengi dengan prestasi yang membanggakan baik akademik maupun non akademik. Sebaliknya, sikap kita akan berbeda terhadap anak yang “nakal”, malas, apalagi yang resistan (melawan). Seringkali kita dibuat bingung dan kesal oleh kelompok yang kedua ini. Intervensi emosi dalam diri kitapun kadangkala tanpa disadari muncul menjadi kemarahan mendadak kepada mereka. Fatalnya, apabila situasi ini dibiarkan berlarut-larut, maka bukan tidak mungkin perasaan benci, antipati, dan tidak mau peduli (sabodo teuing) akan mengikuti sikap “buruk” kita kepada mereka. Bahkan yang lebih membahayakan lagi apabila sampai terjadi perselisihan antara guru dan murid, yang kadangkala berujung pada tindak kekerasan seorang guru kepada muridnya, ataupun sebaliknya. Seperti yang akhir-akhir ini menjadi viral di berbagai media, terutama media sosial.
            Apabila kita renungkan kembali, kondisi seperti ini sebenarnya telah menjadi kodrat dari Yang Maha Kuasa. Sama halnya dengan berbagai macam kontradiksi yang terjadi dalam kehidupan, semenjak kehidupan ini diawali. Ada malam, ada siang. Ada gelap, ada terang. Ada kebaikan, ada juga keburukan, dan seterusnya. Semua itu telah diciptakan Tuhan dengan sengaja, dan pasti ada berbagai alasannya yang harus kita yakini akan memberikan kebaikan dalam kehidupan kita, baik di dunia maupun di akherat nanti. Perbedaan sikap anak didik kita sudah sepatutnya kita syukuri sebagai anugerah Tuhan. Kita anggap saja sebagai pelangi yang kumpulan warnanya dapat memberikan keindahan tersendiri dalam tugas kita sehari-hari. Disinilah peran kita sebagai guru diuji, mampukah kita menghadapi anak yang “berwarna” itu dengan HATI SELEMBUT SALJU…
            Ada sebuah pengalaman yang menarik dan lucu yang pernah saya alami, yang mungkin dapat dijadikan contoh sikap guru dalam menghadapi siswa yang bermasalah. Pada waktu itu, kami guru-guru dibuat pusing tujuh keliling oleh seorang siswa kelas 9 yang sering melawan, bertindak seenaknya, dari pakaian seragam yang tidak pernah lengkap, tugas yang sering diabaikan, hingga tingkah lakunya di dalam kelas disaat pelajaran berlangsung, yang sering mengganggu teman-temannya. Apabila dinasehati hanya menerima dalam ucapan saja dengan menjawab, “Ya Bu”, atau “Ya Pak”, tanpa disertai dengan perubahan tingkah laku yang diharapkan. Hingga akhirnya terbersit keinginan saya untuk membuatnya jera tetapi tidak dengan memberikan hukuman yang ekstrim, melainkan hukuman yang menyertakan hati nurani (mantaaap..) Kebetulan saya mengajar Bahasa Inggris di kelasnya. Dengan materi Imperative Sentences, saya mencoba membuat beberapa kalimat perintah dalam sepotong kertas kecil, yang kemudian digulung seperti dalam arisan. Saya menyuruh setiap anak mengambil satu gulungan kertas tersebut lalu membacakannya dengan keras di depan kelas, dan melakukan apa yang tertulis dalam kertas tersebut. Kejadian unik dan mungkin saya rasa mengharukan akhirnya terjadi ketika sang siswa bermasalah membacakan kalimat suruhan yang ia buka. Kalimat itu berbunyi: Say to your teacher, “I love you, Mom!”. Untuk sesaat sang anak tertegun, dan membacanya dengan sangat pelan. Mungkin dia malu…Saya lalu memintanya mengulangi membaca kalimat itu sekali lagi dengan suara yang lebih keras. Dengan lantang ia membacanya kembali, “I love you, Mom!”….Subhanalloh, betapa Tuhan telah merencanakan kejadian yang luar biasa dan tak kan pernah terlupakan ini, untuk saya, dan semoga untuk dirinya juga. Anak-anak yang lainpun ramai bersorak, “Puas siah…matak ge tong bangor!” Saya hanya bisa tersenyum melihat tingkah mereka, serta tak henti-hentinya bersyukur atas peristiwa itu. Saya coba bertanya lagi padanya, “Do you really love me?” Dengan malu-malu ia menjawab, “Yes, Mom.” Alhamdulillah, setelah kejadian itu ia memperlihatkan perubahan pada tingkah lakunya walaupun tidak 100% seperti yang kami inginkan.

            Esensi dari kisah tadi kurang lebih adalah bahwasanya kita bisa membuat seorang siswa berubah dari yang tidak baik menjadi baik atau lebih baik tanpa memberikan hukuman yang berlebihan hingga memberikan traumatis tersendiri pada anak. Setidaknya dalam setiap memberikan “pelajaran” hendaknya selalu menggunakan naluri orang tua yang baik kepada anaknya, yaitu selalu memperlakukannya dengan hati yang bersih dan sabar, walau bagaimanapun nakalnya anak-anak kita. Karena pada dasarnya, sikap anak akan bergantung pada sikap kita terhadap mereka. Apabila kita bersikap baik maka merekapun akan baik kepada kita. Bila ingin dihormati dan dihargai anak, maka hormati dan hargailah ia sebagai individu yang berbeda dari teman-temannya. Tetaplah menghadapinya dengan hati gembira, selalu menjaga hati kita agar senantiasa lembut, selembut salju….Insya Alloh anak didik kita akan menjadi generasi yang membanggakan..Wallahu a’lam…

Guru "Smart", Guru Pemberdaya

  "Pendidikan akan menghasilkan tiga guna yang luar biasa yang dinamakan Tri Rahayu : Hamemayu Hayuning Sarirom, Hamemayu Hayuning Bong...