Kumpulan Kisah Kami di Masa Pandemi (2)
Bab.2
Bu, Saya Ga Punya HP...
Berdasarkan keputusan rapat dinas yang diadakan
sebelum pelaksanaan PJJ, menyarankan agar setiap guru mata pelajaran
menguasai teknologi digital yaitu Whatsapp, Google
Classroom, dan Teamlink. Tak sabar rasanya untuk menerapkan
ketiga aplikasi tersebut di kelas online dengan
siswa. Jadwal mengajar saya adalah setiap hari Rabu, dari jam 8.00 hingga
11.00. Jam pertama untuk kelas IX dan jam kedua untuk kelas VIII.
Pada pertemuan pertama saya coba
menggunakan Teamlink. Alasannya adalah supaya saya dapat bertemu
muka secara virtual dengan siswa. Teamlink saya
pilih karena aplikasi ini free alias tak
berbayar dalam waktu lebih dari 30 menit. Tidak seperti Zoom Meeting yang
terbatas waktu gratisannya hanya untuk 30 menit saja.
"Oke, students..please join the virtual class by clicking the
link that I shared", ketik saya di grup Whatsapp Bahasa
Inggris kelas IX A, B, C, dan D. Tak lama kemudian, bunyi notifikasi bersahutan.
Tandanya siswa minta diizinkan bergabung. Ada yang berhasil masuk. Ada juga
yang masih kesulitan.
"Bu,
ini gimana...?" tanya seorang siswa yang masih kesulitan untuk bergabung.
"Bu,
kok saya ga bisa masuk terus?" tanya yang lain.
"Bu,
kenapa saya keluar sendiri, padahal tadi sudah masuk?" Atau hanya
"Buu.."
Hmm..ternyata sebagian besar dari mereka
masih kesulitan dalam menggunakan aplikasi ini. Entah karena sinyal internet
yang buruk, atau bisa juga kuota belajar yang tidak mencukupi. Apalagi untuk
penggunaan sebuah aplikasi virtual meeting memerlukan kuota yang
lumayan besar. Kesimpulannya, Teamlink kurang efektif untuk
kelas yang saya ampu dan tidak dapat digunakan untuk pertemuan berikutnya.
Selanjutnya, saya putuskan
memakai aplikasi Google Classroom dan Whatsapp.
Alhamdulillah, proses pembelajaran berjalan lebih kondusif
dan efektif. Siswa dapat mengikuti pembelajaran dengan mudah.
Namun, masalah baru muncul. Setelah beberapa kali pertemuan, masih ada siswa
yang belum pernah ikut bergabung dalam pembelajaran Bahasa Inggris yang saya
ampu. Terdapat sekira 6 orang siswa dari kelas IX yang berbeda.
Di kelas IX C, di mana saya adalah
wali kelasnya, ada Haidar, Yusuf, dan Akmal. Ketiga siswa tersebut seakan
menghilang dan tak mau mengikuti pembelajaran. Anehnya, mereka bertiga sangat
aktif membuat status di WA. Sebagai contohnya Akmal, dia sangat
rajin memposting kegiatan malamnya dengan teman-teman di sekitar tempat
tinggalnya. Mungkin ini yang menyebabkan dia tidak bisa ikut belajar di siang
harinya. Dari rasa khawatir dan penasaran akan kondisinya, saya coba
menghubunginya. Setiap kali dihubungi, pasti jawabannya "Iya Bu,
maaf.." atau "Akmal janji Bu nanti ikutan PJJ". Dan hasilnya,
masih kurang memuaskan. Pernah beberapa kali Akmal ikut belajar, tapi seringnya
tidak pernah mengerti apa yang sedang dipelajari. Kemudian dia pun menghilang
lagi.
Di hari berikutnya, saya mendapat
kabar bahwa Akmal akan memperoleh bantuan dari pemerintah untuk siswa yang
berasal dari keluarga kurang mampu. Ketika kabar itu sampai ke keluarganya,
dengan cepat mereka meresponnya. Dalam hati saya bergumam, "Giliran mau
dapat uang mah langsung nyamber". Tapi yah, apa mau dikata. Mungkin
kondisi mereka yang menyebabkan bersikap seperti itu.
Saya berpikir, inilah saatnya saya
dapat berkomunikasi langsung dengan Akmal dan keluarganya. Dan saat itu pun
tiba. Saya ditelepon oleh guru BK kelas IX, Bu Lyta, untuk datang ke sekolah
dan bertemu dengan Akmal. Ya, pertemuan saya dengan Akmal untuk pertama
kalinya. Karena pandemi, sejak awal pertemuan saya belum pernah melihat
wajahnya. Sesaat saya memandanginya diam-diam. Rambut agak gondrong, kusut, dan
diwarnai merah di bagian atasnya. Seakan hendak berkata "saya ingin
dicukur". Apa daya, sang pemilik rambut tidak mau mengerti. Kaos dan
celana panjang lusuh seadanya. Memakai sandal jepit yang sudah tua pula.
Menandakan bahwa dia memang dari keluarga kaum marginal yang kurang perhatian.
Di samping Akmal, ada kakeknya yang menemani pengurusan bantuan. Tak jauh
berbeda dengan cucunya, sang kakek berpakaian lusuh, tak kenal setrikaan,
apalagi wangi Molto. Sebelah kakinya pincang. Mereka siap
diinterogasi.
"Hai Akmal, apa kabar?" sapa saya memulai percakapan. Sekilas
wajahnya tertunduk, mungkin malu.
"Baik,
Bu.." jawabnya. Lalu saya bertanya lagi, " Akmal kemana aja selama
ini? Kok ga pernah ikutan daring lagi?" Kulihat dia semakin tertunduk
lesu, seperti yang belum makan dari pagi. Tak berapa lama, orang tua di
sebelahnya menimpali.
"Maaf
Bu, saya kakeknya Akmal. Punteen pisan..kalau selama ini Akmal suka bikin
masalah. Padahal sudah saya suruh ikutan belajar tapi ya gitu, susah pisan
diurusna, Bu.." kata sang kakek dalam logat Sundanya, sambil merapatkan
kedua tangannya di dada, tanda meminta maaf atas perilaku cucunya. Percakapan
pun terus berlangsung. Bu Lyta tak kalah gesitnya dalam melontarkan pertanyaan.
Setelah ditanya berkali-kali, akhirnya Akmal berkata, "Saya ga punya HP,
Bu.." Lah, terus yang selama ini sering posting status di WA siapa?
"Itu adik saya, Bu."
Setelah pertemuan dengan Akmal dan
kakeknya, kesepakatan pun kami peroleh. Akmal dan kakeknya setuju untuk
menggunakan uang bantuan pemerintah sebesar 750 ribu rupiah untuk membeli HP
baru. Saya dan Bu Lyta merasa lega dengan keputusan itu. Kami berharap, semoga
ke depannya Akmal dapat menggunakan HP barunya untuk belajar daring dan
mengerjakan tugas-tugas. Semangat Akmal..
Tetap semangat Akmalπ
BalasHapusSiap Ibu..π€
HapusMantap Bu,...!
BalasHapusTerima kasih Bu π
HapusPJJ masih menyisakan sejumlah mssalah, salah satunya adalah HP sebagai media pembelajaran.
BalasHapusHal ini seharusnya disikapi oleh pemerintah dengan subsidi pembelian HP bagi siswa yang belum memilikinya.
Semoga..thanks Bebs ππ
HapusWah jadi gak sabar nunggu cerita berikutnya. Kalau sudah jadi buku, keren ya Bu ... Rekam jejak mengajar selama pandemi. Mantap ππ»
BalasHapusAamiin..msh 26 episode lagi Bu, smg bisa tuntas, doakan ya Bu ππ
HapusWahh...ini kisah nyata yg sama ya permasalahannya. Awalnya menggunakan Google Meet, krn dirasa kurang efektif disebarlah survey (diagnosis). Hasil survey, siswa lebih senang diskusi di whatsapp grup, meski beberapa ada yg pngn mencoba di google classroom. Sampai sekarang 2 aplikasi itu yg sering digunakan, paling biar bervariasi menggunakan link aja tanpa mengunduh aplikasi lagi.
BalasHapusIya say, pemilihan aplikasi yg tepat penting sekali spy siswa mudah mengerti apa yg kita sampaikan. Mksh y'all sdh singgah ππ
HapusDirekomed ....siapa tahu anakku terinspirasi tuk buat film pendek......semoga....ngarep...he......
BalasHapusKeren....ππ
Asiik..kabar yg bagus sekali Bu Lyta, lanjutkan..ππͺ
HapusMantapppp buuu
BalasHapusPJJ mengisahkan banyak cerita sekaligus solusi didalamnya...mantap Bu Tutiπ
BalasHapusBetul, Bu..mksh sdh meninggalkan jejak ππ
HapusNahhhh.. ini juga.. ternyata ada dampak juga buat kita emak emak dirumah. Belajar secara daring mengharuskan peranan emak jd bertambah. Harus ready membantu kegiatan belajar anak dirumah. Segala aplikasi yang berhubungan dengan PJJ pun akhirnya berusaha dikuasai... hehehehe.. Semangat terus bu guru
BalasHapusAnak pinter, emaknya juga ikut pinter, kan? Semangat juga buat emak2 πͺππ
HapusAplikasi apapun yg digubakan kalau guru dan murid senang akan jauh lebih baik
BalasHapusSetuju Om Jay, terima kasih sdh mampir dan meninggalkan jejak πππ
Hapussangat inspiratif, meninggalkan kesan mendalam, bahwa sya juga punya kisah demikian
BalasHapusHopefully the pandemic ends soon, we miss teaching face to face
BalasHapusIya Bu..
Hapus